Rabu, 03 Juni 2009

PENERAPAN PENDEKATAN BALANCED SCORECARD (BSC)

Pendahuluan
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, menginstruksikan kepada setiap pemimpin Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah, Satuan Kerja atau Unit Kerja didalamnya wajib membuat laporan akuntabilitas kinerja secara berjenjang serta berkala untuk disampaikan kepada atasannya. Instruksi Presiden tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Keputusan Lembaga Administrasi Negara sebagaimana yang tertuang dalam Surat Keputusan Nomor 239/IX/6/8/2003 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Berdasarkan hal Ini seluruh lembaga Negara diharuskan membuat laporan akuntabilitas kinerjanya.
Sistem perencanaan strategis instansi pemerintah yang telah distandarisasi adalah Sistem Akuntabilitas Instansi Pemerintah (SAKIP) di mana pertanggung-jawaban kinerjanya adalah dokumen Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah (LAKIP). Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) adalah instrumen yang digunakan oleh instansi pemerintah dalam memenuhi kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi. SAKIP terdiri dari berbagai komponen yang merupakan suatu kesatuan, yaitu : perencanaan strategis, perencanaan kinerja, pengukuran kinerja dan pelaporan kinerja. Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah (LAKIP) adalah dokumen gambaran perwujudan akuntabilitas instansi pemerintah yang dibuat dan disusun berdasarkan SAKIP. Indikator kinerja kegiatan sebagai tolok ukur kinerja SAKIP ditetapkan dan dikategorikan ke dalam kelompok (a) Masukan-masukan (Inputs); (b) Keluaran-keluaran (Outputs); (c) Hasil-hasil (Outcomes); (d) Manfaat-manfaat (Benefits); (e) Dampak-dampak (Impacts). Selanjutnya, pertanggungjawaban keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dilaksanakan melalui pengukuran kinerja.
Namun sementara itu kinerja lembaga yang tergambar jelas didalam LAKIP sering justru bukanlah gambaran sesungguhnya dari kinerja lembaga secara keseluruhan. Terkait hal ini, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) menyatakan bahwa, SAKIP belum dapat menyediakan alat pengukuran dan ukuran kinerja untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pencapaian organisasi, yang ada hanyalah ukuran kinerja yang masih bersifat program yang berbasis anggaran yang ditetapkan setelah program tersebut dilaksanakan, sehingga sulit untuk menentukan capaian kinerja pada tingkat organisasi (Simanjuntak (2007). Selanjutnya juga SAKIP masih terbatas pada penentuan visi, misi dan tujuan organisasi dan belum menunjukkan arah akan dibawa kemana organisasi di masa yang akan datang. Formulasi yang digunakan dalam pengukuran kinerja yang bersifat pencapaian kinerja program, yaitu rasio antara rencana dan realisasi. Rencana merupakan komponen indikator inputs yang diterjemahkan menjadi rasio antara anggaran yang digunakan dengan keluaran yang ditargetkan, sedangkan Realisasi merupakan komponen indikator outputs yang diterjemahkan menjadi hasil yang tercapai. Hasil rasio antara inputs dan outputs ini yang digunakan sebagai ukuran kinerja organisasi instansi pemerintah. Hal lainnya adalah format pelaporan SAKIP yaitu LAKIP belum melakukan pengukuran terhadap indikator-indikator kinerja lainnya yang lebih bersifat intangible atau non teknis namun secara langsung maupun tidak sangat mempengaruhi kinerja suatu organisasi pemerintah secara keseluruhan, misalnya rasa puas masyarakat yang dilayani atau tingkat kenyaman dan kepuasan para pegawai di dalamnya.
Penegasan akan pentingnya sebuah metode pengukuran yang lebih komprehensif disampaikan oleh Niven (2005) bahwa pengukuran tradisional yang kita kenal selama ini sangat sulit untuk mengukur hal-hal yang sifatnya intangible assets, seperti motivasi atau misalnya skill yang bisa mendatangkan perubahan dan pertumbuhan organisasi. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah sistem pengukuran kinerja yang mampu mengukur nilai dari intangible assets tersebut untuk memperkirakan dan mengantarkan sebuah kesuksesan ekonomis organisasi.

Manajemen Strategis Berbasis Balanced Scorecard (BSC)
Menurut David (2002), manajemen strategik didefinisikan sebagai seni dan pengetahuan untuk merumuskan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi keputusan lintas fungsional demi pencapaian tujuan organisasi. Manajemen strategik difokuskan kepada bagaimana memadukan manajemen-manajemen pemasaran/ pelayanan, keuangan/ akunting, produksi dan operasi, penelitian dan pengembangan, serta sistem informasi komputer untuk mencapai keberhasilan suatu organisasi. Pada era informasi ini, banyak organisasi yang menggunakan Balanced Scorecard (BSC) bukan hanya dalam pengukuran kinerja, melainkan sebagai inti dari sistem manajemen strategik (Kaplan dan Norton, 1996). Artinya, bahwa BSC, yang terdiri empat perspektif (keuangan, pelanggan, proses internal, serta pertumbuhan dan pembelajaran), tidak lagi diartikan secara harafiah sebagai pengukur kinerja, namun telah tersirat makna sebagai suatu kerangka berpikir (framework of thinking) dalam pengembangan peta strategi (strategy map). Balanced Scorecard merupakan sistem manajemen strategis yang menterjemahkan visi dan strategi suatu organisasi kedalam tujuan dan ukuran operasional (Hansen dan Mowen, 2003).
Konsep BSC lebih memiliki kemampuan menjawab berbagai persoalan pengukuran secara komprehensif, integral dan dapat dipakai dengan mudah sebagai pijakan didalam mendesain organisasi dan manajemen instansi pemerintah kedepan. Menurut Kaplan dan Norton (1996), BSC mempunyai beberapa karakteristik, yakni : komprehensif, koheren, berimbang dan terukur. Pengertian masing-masing karakteristik BSC tersebut adalah sebagai berikut :
a. Komprehensif, dimaksudkan bahwa BSC memperluas perspektif yang dicakup dalam perencanaan strategik, dari yang semula hanya terbatas pada aspek keuangan, menjadi empat perspektif. Dalam dunia bisnis/ swasta, manfaat perluasan perspektif tersebut adalah melipat-gandakan kinerja keuangan yang berkesinambungan serta memampukan organisasi dalam memasuki lingkungan bisnis yang kompleks. Pada instansi pemerintah aspek utama yang mengalami pelipat-gandaan yang berkesinambungan adalah perspektif pelanggan atau publik.
b. Koheren, dimaksudkan agar personil organisasi dapat membangun hubungan sebab akibat (causal relationship) di antara berbagai sasaran strategik yang dihasilkan dalam perencanaan strategik. Dalam dunia bisnis/ swasta, setiap sasaran strategik yang ditetapkan dalam perspektif non keuangan, harus mempunyai hubungan kausal dengan sasaran keuangan, baik secara langung maupun tidak langsung. Ketiga perspektif non keuangan, sesungguhnya merupakan pemicu dari kinerja keuangan organisasi. Pencapaian sasaran strategik ini adalah penguasaan pengetahuan oleh personil organisasi, sehingga akan meningkatkan kualitas proses untuk meningkatkan value bagi pelanggan. Kekoherenan juga membangun hubungan sebab-akibat antara keluaran yang dihasilkan oleh sistem perumusan strategi dengan keluaran dari sistem perencanaan strategik. Disamping itu, kekoherenan juga dituntut dalam menjabarkan inisiatif strategik kedalam program, dan selanjutnya program kepada anggaran (budgeting).
c. Berimbang, dimaksudkan untuk menghasilkan kinerja keuangan yang berkesinambungan dari keseimbangan sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik dalam dunia bisnis. Sedangkan pada instansi pemerintah, akan menghasilkan pelayanan publik yang berkesinambungan.
d. Terukur, dimaksudkan bahwa BSC memberi kemudahan bagi organisasi untuk dapat menentukan ukuran dari sasaran strategik yang akan dicapai dalam keempat perspektif, sehingga sasaran tersebut dapat dikelola dan diwujudkan.

Menurut Kaplan dan Norton (2004), rancangan BSC yang dilaksanakan pada organisasi publik adalah dalam rangka untuk mewujudkan misi organisasi tersebut. Suatu organisasi yang akan membangun BSC sebagai sistem manajemen strategik harus menetapkan : a). Visi, misi, dan tujuan; b). Menerjemahkan visi dan strategi organisasi ke dalam empat perspektif BSC. Penerapan BSC dalam suatu perencanaan strategik dapat menuntun manajemen dan anggota organisasi pemerintahan dalam menerjemahkan visi, misi, dan strategi organisasi ke dalam tindakan-tindakan yang terukur dan terencana dengan baik. Perencanaan dan pelaksanaan program maupun anggaran pemerintah akan terfokus pada upaya untuk mencapai misi organisasi pemerintahan (mission driven), yakni demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Implementasi pendekatan ini menuntut adanya identifikasi dan pengembangan kinerja organisasi yang komprehensif ke dalam empat perspektif BSC (Gasperz, 2003). Dengan demikian, penerapan BSC yang didukung oleh sistem pelaporan yang benar akan mendukung terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance).


Balanced Scorecard (BSC) pada Organisasi Publik
Organisasi publik merupakan organisasi yang didirikan dengan tujuan memberikan pelayanan kepada masyarakat bukan mendapatkan keuntungan (profit). Organisasi ini bisa berupa organisasi pemerintah dan organisasi nonprofit lainnya. Meskipun organisasi publik bukan bertujuan mencari profit, organisasi ini dapat mengukur efektivitas dan efisiensinya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu organisasi publik dapat menggunakan balanced scorecard dalam pengukuran kinerjanya.
Eagle (2004), menyampaikan salah satu alasan mengapa kerangka BSC penting untuk diimplementasikan ke organisasi yang bersifat publik yaitu untuk merespon tuntutan publik yang merupakan stakeholder akan akuntabilitas dan efisiensi organisasi publik. Kecenderungan saat ini adalah pengukuran kinerja telah dilakukan pada semua tingkatan organisasi pemerintahan. Tantangan utamanya adalah bagaimana memiliki sebuah sistem atau kerangka kinerja yang secara efektif mampu membagi dengan baik alokasi-alokasi prioritas terhadap keterbatasan sumberdaya yang ada dalam pelaksanaan prioritas tersebut dan mengukur hasilnya.
Untuk dapat memenuhi kebutuhan organisasi publik yang berbeda dengan organisasi bisnis, maka sebelum digunakan ada beberapa perubahan yang dilakukan dalam konsep balanced scorecard. Perubahan yang terjadi antara lain: 1) perubahan framework dimana yang menjadi driver dalam balanced scorecard untuk organisasi publik adalah misi untuk melayani masyarakat 2) perubahan posisi antara perspektif finansial dan perspektif pelanggan 3) perspektif customers menjadi perspektif customers & stakeholders 4) perubahan perspektif learning dan growth menjadi perspektif employees and organization capacity (Rohm, 2005).
Carmona dan Gronlund (2003) menyatakan ada banyaknya bentuk organizational performance framework di organisasi-organisasi publik membuat banyaknya data maupun fakta yang bersifat spesifik yang tidak semuanya bersifat finansial sehingga pengukuran yang harus dilakukan untuk mengkajinya haruslah sebuah pengukuran yang juga mengukur perspektif-perspektif non finansial yang ada.

Sumber : Rohm (2004)
Gambar 2. Gambaran BSC yang Digunakan dalam Organisasi Publik.

Gambar 2 menunjukkan apa yang menurut Imelda (2005) yang menjadi fokus utama dalam organisasi publik yaitu misi organisasi, secara umum misi suatu organisasi publik adalah melayani dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari misi tersebut diformulasikan strategi-strategi yang akan dilakukan untuk pencapaian misi tersebut. Strategi tersebut kemudian diterjemahkan dalam keempat perspektif, yaitu : perspektif customer & stakeholders, perspektif financial, perspektif internal business process dan perspektif employees & organization capacity. Perspektif customer & stakeholders menggambarkan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat. Perspektif financial mengidentifikasikan pemberian pelayanan yang efisien. Perspektif internal business process menggambarkan proses-proses yang penting bagi organisasi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Perspektif employees & organization capacity menggambarkan kompetensi dan kemampuan semua anggota organisasi.


Perancangan Balanced Scorecard (BSC)
Perancangan ukuran kinerja adalah suatu tahapan yang penting dalam penerapan Balanced Scorecard pada suatu organisasi. Perancangan Balanced Scorecard pada Lembaga Pemerintahan seperti Lembaga pemerintah, diawali dengan penentuan komponen-komponen strategik oleh Manajemen. Komponen strategik dimaksud adalah visi, misi, tujuan, dan strategi Lembaga pemerintah. Komponen strategik tersebut merupakan penjabaran dari visi, misi, tujuan dan sasaran yang disusun sebelumnya didalam Renstra (Rencana Strategis) dan LAKIP yang kemudian disesuaikan dengan kondisi saat ini dan keterkaitannya dengan tugas pokok dan fungsi Lembaga pemerintah.
1. Penjabaran Visi dan Misi kedalam Tujuan dan Strategi.
Penjabaran visi, misi, tujuan dan strategi ke dalam sasaran strategis melalui empat perspektif BSC dilaksanakan melalui mekanisme FGD (Focus Group Discussion) dengan panduan kuesioner dengan target responden adalah manajemen. Visi, misi, tujuan dan strategi Kantor yang digunakan berdasarkan Rencana Strategis Lembaga pemerintah.
Visi adalah gambaran masa depan organisasi yang akan diwujudkan. Visi menjawab pertanyaan : ”organisasi ingin menjadi apa di masa depan (what do we want to be)”. Visi yang jelas akan membantu dalam penjabarannya ke dalam tujuan (goal) organisasi dan menentukan sasaran strategik yang sejalan dengan tujuan tersebut.
Misi adalah jalan yang dipilih oleh suatu organisasi untuk menuju ke masa depan yang diinginkan. Pernyataan misi suatu organisasi menentukan aktivitas bisnis organisasi itu. Dalam FGD, dibahas tentang substansi dari misi dan mempertimbangkan visi yang sudah ditetapkan, dengan mengacu pada kriteria sebuah misi. Kriteria sebuah misi antara lain:
a. Kebutuhan para stakeholders yang mana yang dipenuhi sehubungan dengan adanya Lembaga Negara itu termasuk unit-unit kerjanya di Provinsi dan Kabupaten/Kota.
b. Siapakah mereka para stakeholders Lembaga pemerintah itu.
c. Apa Bisnis organisasi dari Lembaga yang bernama Lembaga pemerintah.
d. Apakah kompetensi yang harus dimiliki organisasi dalam menjalankan bisnis organisasinya.
Tujuan adalah pernyataan luas tentang apa yang akan diwujudkan oleh organisasi.
Strategi adalah pola yang digunakan oleh organisasi untuk mengambil keputusan, mengerahkan sekaligus mengarahkan seluruh sumberdaya yang ada dalam rangka mewujudkan visi organisasi.
Gambar 3 Berikut adalah Contoh penjabaran visi dan misi organisasi/program kedalam keempat perspektif BSC sampai kepada Tujuan dan Strategi pencapaiannya. Pada tahapan ini Visi organisasi diturunkan kedalam misi-misi yang ingin dicapainya, kemudian dilakukan diskusi untuk mengelompokkannya kedalam masing-masing perspektif BSC yang relevan selanjutnya ditentukan tujuan masing-masing Perspektif serta bagaimana strategi umum yang akan dilakukan untuk pencapaiannya.

2. Sasaran Strategis, Indikator Kinerja Kunci, Target dan Inisiatif Strategis.
Penentuan sasaran strategis, indikator kinerja kunci, target dan inisiatif strategis dilaksanakan melalui FGD yaitu unsur manajemen atau pimpinan terkait dengan panduan kuesioner. Sebagai bahan masukan untuk kelengkapan data dan informasi perlu dilakukan wawancara terbuka dengan beberapa Penanggung Jawab Kegiatan. Hasil kuesioner dari Manajemen dan wawancara terbuka dengan para Penanggung Jawab Kegiatan kemudian dirumuskan dan selanjutnya hasil rumusan dimaksud dikonfirmasi kembali kepada Manajemen secara berulang sampai sasaran strategis, indikator kinerja kunci, target, dan inisiatif strategis siap menjadi kerangka kerja Lembaga pemerintah . Contoh perumusan Sasaran strategis, indikator kinerja kunci, target dan inisiatif strategis ini dapat dilihat pada Gambar 4.

3. Pembobotan Perspektif dan Indikator Kinerja Kunci (Key Performance Indicators)
Setelah ditentukan sasaran strategis dan indikator kinerja kunci, target dan inisiatif strategis dari masing-masing perspektif, selanjutnya adalah pembobotan masing-masing perspektif dan indikator kinerja kunci. Pembobotan ini dapat dilakukan dengan berbagai metode antara lain teknis Paired Comparison (Perbandingan Berpasangan) dengan menggunakan Rumus :
Pembobotan ini selain berfungsi untuk mengetahui peringkat dari masing–masing perspektif dan indikator kinerja kunci yang ada dalam tiap perspektif juga berfungsi untuk mengetahui besaran kontribusi tiap indikator kinerja kunci terhadap kinerja Kantor secara keseluruhan.
Gambar 5. dibawah ini adalah Contoh Hasil Pembobotan Perspektif dan pembobotan Indikator Kinerja Kunci yang dilakukan oleh pelaksana Kegiatan/program atau Manajemen Organisasi dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD).
Setelah Visi dan Misi organisasi atau Program telah dikelompokkan dalam masing-masing perspektif, maka langkah selanjutnya adalah menentukan Indicator Kinerja Kunci (Key Performance Indicators) sehingga terhadap satu perspektif bisa dirumuskan beberapa KPI yang relevan dengannya. KPI-KPI ini selanjutnya melalui forum FGD akan dibobot berdasarkan tingkat kepentingannya atau tingkat prioritasnya, pembobotan pertama adalah ratio terhadap perspektif masing-masing, dan pembobotan kedua adalah ratio bobot terhadap kinerja keseluruhan yaitu keempat perspektif. Dari proses ini kemudian bisa dilihat:
1. Posisi Tingkatan Perspektif berdasarkan bobot terpenting atau prioritas terhadap keseluruhan kinerja.
2. Posisi Tingkatan KPI berdasarkan bobot terpenting didalam masing-masing perspektif.

Peta Strategi (Strategy Map)
Salah satu sifat dari perancangan balanced scorecard adalah adanya kekoherenan dari sasaran-sasaran strategik yang ditetapkan. Kekoherenan dimaksud adalah terciptanya hubungan sebab-akibat antara satu sasaran strategik dengan sasaran strategik yang lain. Hubungan sebab-akibat yang terjalin antara sasaran-sasaran strategik dari keempat perspektif balanced scorecard membentuk strategy map organisasi. Strategy map yang tersusun itu akan membantu organisasi untuk mewujudkan tujuan dan visi organisasi tersebut.
Menurut Scholey (2005), strategy map ini adalah langkah yang dapat diambil untuk memandu dalam mengukur, memanajemeni, dan mengomunikasikan rencana yang telah dibuat secara lebih jelas. Strategy map Lembaga pemerintah disusun oleh hubungan sebab-akibat yang terjalin antara sasaran-sasaran strategik yang bermuara pada pencapaian visi, misi dan tujuan Kantor.
Strategy Map Lembaga pemerintah harus mampu menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat yang diawali dari sasaran strategik pada Perspektif Pegawai dan Kapasitas Organisasi, sasaran strategik Perspektif Proses Internal, sasaran strategik Perspektif Keuangan, sampai kepada sasaran strategik pada Perspektif Stakeholders, yang pada akhirnya akan mendorong pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. Sasaran strategis yang telah ditetapkan menunjukkan hubungan sebab-akibat sehingga membentuk rancangan peta strategi.
Contoh Hubungan sebab-akibat yang terbentuk oleh setiap sasaran strategik tersebut ditunjukkan oleh Gambar 6. dibawah ini :

Implementasi Balanced Scorecard (BSC) dalam Pengukuran Kinerja
Kerangka kerja BSC ini kemudian akan diimplementasikan melalui pengukuran kinerjanya masing-masing guna mengetahui kemampuan penerapan dari masing-masing indikator kinerja kunci tersebut. Pengukuran kinerja dilakukan untuk mengetahui capaian kinerja Organisasi atau lembaga.
Pengukuran kinerja dilakukan dengan kinerja aktual yaitu pada tahun atau periode yang diukur dari setiap indikator kinerja kunci dibandingkan dengan target dengan memperhatikan kinerja organisasi atau lembaga terhadap masing-masing indikator kinerja kunci pada periode atau tahun sebelumnya.
Capaian kinerja dapat diketahui melalui perhitungan indeks kinerja, untuk itu terlebih dahulu harus ditentukan indeks capaian terhadap kinerja organisasi/lembaga. Indeks capaian kinerja yang digunakan adalah mengacu kepada indeks kinerja dalam format LAKIP, yaitu sebagai berikut:

0%
-
55%
dikategorikan
Buruk







56%
-
70%
dikategorikan
Sedang







71%
-
85%
dikategorikan
Baik







86%
-
>100%
dikategorikan
Sangat Baik






Penerapan pengukuran kinerja dengan menggunakan kerangka kerja yang telah disusun dengan Balanced Scorecard membutuhkan skor tertentu (Norma Scoring), maka perlu penetapan skor terlebih dahulu oleh manajemen (FGD). Berdasarkan hal tersebut maka indeks capaian kinerja organisasi/lembaga yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada kategori berikut:

Skor 1
:
0%
-
55%
dikategorikan
Buruk













Skor 2
:
56%
-
70%
dikategorikan
Sedang













Skor 3
:
71%
-
85%
dikategorikan
Baik













Skor 4
:
86%
-
>100%
dikategorikan
Sangat Baik












Capaian kinerja setiap indikator kinerja kunci diketahui melalui persentase antara kinerja aktual dan target yang telah ditetapkan. Persentase dimaksud akan menunjukkan nilai skor dan kategori keberhasilan pencapaian masing-masing indikator kinerja kunci. Selanjutnya, skor yang diperoleh dikalikan dengan bobot indikator kinerja kunci tersebut. Fungsi bobot adalah untuk menunjukkan besaran nilai dari setiap indikator kinerja kunci, sehingga setiap capaian kinerja dari indikator kinerja kunci dapat dievaluasi. Hasil perkalian skor dengan bobot indikator kinerja kunci akan menghasilkan skor terbobot. Kemudian, seluruh skor terbobot dijumlahkan untuk memperoleh Total Skor.
Contoh Tabel Pengukuran Kinerja dengan kerangka BSC ditunjukkan oleh Gambar 7. dibawah ini.
Setelah bobot KPI dan Peta strategi ditentukan beserta dengan hubungan Sebab-Akibat antar KPI maka dengan melihat Capaian dan Target dalam Periode tertentu yang dijadikan sebagai periode pengukuran, maka bisa dihasilkan Indeks Kinerja yang merupakan perbandingan antara target dan kinerja aktual. Untuk menentukan Skor dan Kriterianya, bisa digunakan macam-macam skala atau ukuran sesuai dengan kebutuhan atau preferensi masing-masing, namun mengingat ini adalah sebuah pengukutan kinerja bagi obyek instansi pemerintah maka disarankan untuk menggunakan kriteria LAKIP dalam menentukan Skornya.
Masing-masing KPI akan menghasilkan Skor Terbobot sesuai dengan Rasio Capaian Kinerja Aktualnya terhadap Target. Akumulasi Skor dari keseluruhan KPI inilah yang menggambarkan Kinerja Lembaga/ Organisasi/Program atau Kegiatan secara Overall.

Proses Pengintegrasian Kerangka BSC kedalam Kerangka SAKIP
Sebagaimana diketahui bahwa SAKIP sebagai kerangka kerja pengukuran kinerja instansi pemerintah yang telah distandarisasi oleh pemerintah melalui Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999 memiliki komponen-komponen yaitu : Perencanaan Strategik, Perencanaan Kinerja, Pengukuran Kinerja dan Pelaporan Kinerja. Tulisan ini sejak awal tidak dimaksudkan untuk melakukan penggantian secara total baik secara konsep maupun substansi SAKIP mengingat esensi SAKIP itu sendiri memang merupakan suatu keharusan bagi instansi pemerintah atau organisasi-organisasi yang bersifat publik guna mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya masing-masing.
Dalam tulisan ini salah satu tujuan yang ingin dicapai adalah bagaimana perancangan kerangka pengukuran berbasis BSC pada Lembaga/Organisasi Pemerintah dapat diintegrasikan kedalam SAKIP mengingat bahwa sifat BSC sebagai alat dalam ilmu manajemen strategik yang relatif lebih komprehensif sifatnya untuk merepsentasikan kinerja suatu organisasi dan tidak terbatas pada aspek-aspek tertentu saja seperti aspek finansial atau keuangan misalnya.
Oleh sebab itu komponen-komponen dalam SAKIP selanjutnya akan disusun melalui pendekatan BSC setelah penjabaran visi misi organisasi dilakukan berdasarkan keempat perspektif BSC. Hal ini akan membuat SAKIP Lembaga pemerintahan memiliki gambaran yang jelas dan menyeluruh tentang kinerjanya, baik secara anggaran, program dan kegiatan namun juga terhadap bagaimana kinerja organisasi atau lembaga mendapatkan apresiasi masyarakat maupun stakeholders lainnya melalui persepsi kepuasan masyarakat dan stakeholders.


Pada Gambar 7. dapat dilihat proses pengintegrasian kerangka BSC kedalam SAKIP/LAKIP.

Implikasi Manajerial dan Rekomendasi
Berdasarkan pembahasan diatas maka yang dapat direkomendasikan kepada Lembaga Pemerintahan adalah menerapkan kerangka kerja BSC yang telah disusun dan mengintegrasikannya kedalam SAKIP dan LAKIP sebagai format pengukuran dan pelaporan AKIP yang telah menjadi standar yang diatur oleh Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999.
Penerapan kerangka kerja BSC yang telah dirancang akan memberikan arah dan fokus pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh organisasi sesuai dengan visi, misi, tujuan, dan strategi yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengukuran kinerja dengan kerangka kerja BSC akan memberikan data dan informasi tentang kondisi organisasi secara lebih komprehensif dan akurat. Integrasi dengan SAKIP dan LAKIP bisa dilakukan karena dalam perancangan dan penyusunan kerangka BSC, visi, misi, tujuan dan indikator-indikator teknis yang dicantumkan adalah apa yang terdapat didalam SAKIP dan LAKIP Lembaga pemerintah sesuai dengan apa yang telah digariskan dan dijadikan acuan dalam RENSTRA BPN RI Tahun 2005-2009 yang kemudian disempurnakan dalam RENSTRA BPN RI Tahun 2007-2009. Penyesuaian hanya dilakukan pada sebagian frase dalam Visi, strategi, sasaran strategik dan inisiatif strategik, target dan memasukan indikator-indikator kinerja kunci organisasi yang sifatnya non teknis lembaga pemerintah dan belum terdapat didalam SAKIP dan LAKIP namun merupakan pemicu kinerja organisasi.
Di lain pihak, implikasi dari penerapan kerangka kerja dimaksud akan memberikan tanggung jawab pekerjaan yang lebih banyak lagi bagi organisasi yang ditandai dengan bertambahnya jumlah indikator kinerja kunci yang telah ditetapkan, selain kewajiban yang telah distandarisasi oleh pemerintah melalui SAKIP dan LAKIP. Namun mengingat kerangka kinerja BSC bersifat lebih komprehensif dan akurat serta bertujuan untuk menyajikan kondisi aktual kantor yang dapat melengkapi indikator-indikator yang ada didalam SAKIP dan LAKIP maka penerapannya di Lembaga Pemerintahan sangat direkomendasikan untuk dilakukan.
Kekomprehensifan dan keakuratan data dan informasi yang diperoleh dari pengukuran kinerja dimaksud akan membantu manajemen yaitu unsur pimpinan Lembaga pemerintah dalam mengambil kebijakan lebih lanjut tentang pelayanan lembaga pemerintah dan aspek-aspek lembaga pemerintah lainnya yang disesuaikan dengan perkembangan politik, sosial, ekonomi, dan teknologi yang sedang berkembang.
Dengan demikian pihak-pihak tersebut memperoleh data dan informasi yang komprehensif dan akurat tentang kondisi pelayanan lembaga pemerintah maupun gambaran terkini dari kondisi lembaga pemerintah dengan segala aspek yang terkait didalamnya di wilayah kabupaten/kota maupun Provinsi dan secara nasional guna pengambilan kebijakan lebih lanjut tentang kebijakan –kebijakan lembaga pemerintah di Indonesia.

Evaluasi dan Perbandingan antar Kerangka Pengukuran Kinerja
Antara SAKIP dengan BSC memiliki kesamaan dalam kerangka sistemnya karena keduanya terdiri dari komponen perencanaan strategik yang menjabarkan visi, misi, sasaran dan tujuan, perencanaan kinerja, proses pengukuran kinerja, serta evaluasi dan format pelaporan kinerja. Namun, guna mengantisipasi perkembangannya yang semakin pesat dan tuntutan untuk semakin mengutamakan kepentingan masyarakat dalam pelayanan publik yang dilakukan maka mekanisme SAKIP khususnya terhadap komponen Pengukuran Kinerja dan Pelaporan Kinerja (LAKIP) dianggap masih membutuhkan masukan untuk kesempurnaannya. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini mencoba untuk memberikan sebuah alternatif strategi maajemen dengan melaksanakan perancangan kerangka kerja pengukuran kinerja Instansi Kantor atau lembaga dengan menggunakan BSC yang bukan ditujukan untuk menggantikan kerangka AKIP yang ada didalam SAKIP, melainkan merupakan upaya untuk memberikan masukan dalam kerangka kerja AKIP dengan memasukan indikator-indikator kinerja kunci yang masih belum diperhatikan didalam kerangka SAKIP.
Hasil evaluasi dan pembandingan adalah sebagai berikut:
1. Selama ini dalam penyusunan SAKIP hanya melibatkan beberapa orang pejabat yang diberikan tanggung jawab untuk menyusun dan melaporkan LAKIP organisasi atau kantor masing-masing. Hal ini membuat partisipasi aktif dari seluruh komponen organisasi/kantor (pejabat maupun pegawai) yang menjadi syarat dalam penyusunan AKIP tidak berjalan dengan baik, dengan mekanisme kerangka kinerja BSC keterlibatan seluruh unsur manajemen (Eselon 1-4 bahkan 5) serta seluruh pegawai yang ada bisa lebih dimaksimalkan sejak dari penjabaran visi, misi, sasaran dan tujuan, penentuan program-program prioritas yang akan menjadi indikator kinerja kunci bagi Kantor sampai kepada proses pengukuran yang melibatkan SDM didalam kantor.
2. Capaian indeks kinerja dalam SAKIP organisasi atau lembaga pemerintahan selama ini secara keseluruhan tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibatnya (koheren). Sedangkan peta strategi (Strategy Map) yang dirumuskan dalam BSC adalah hipotesis yang mampu menjelaskan hubungan sebab-akibat dari pencapaian indikator-indikator kinerja baik keberhasilan maupun kegagalannya.
3. Indikator kinerja yang digunakan dalam SAKIP selama ini hanya indikator kinerja teknis saja yang sifatnya berbasis anggaran, tidak memperhatikan indikator non teknis non keuangan sebagai pemicu kinerja. Indikator kinerja dalam BSC telah memperhatikan indikator kinerja pemicu kinerja seperti: tingkat kepuasan stakeholders, tingkat kepuasan kerja pegawai, jumlah pegawai yang mengikuti diklat atau tugas belajar, dan penggunaan dan kualitas sistem informasi yang menunjang pelayanan yang diberikan, dan lain-lain.
4. Indikator kinerja yang digunakan dalam SAKIP cenderung tidak konsisten karena antara indikator kinerja didalam komponen perencanaan strategik dengan indikator kinerja didalam komponen pengukuran kinerja ada perbedaan, karena indikator kinerja dalam komponen pengukuran kinerja dalam SAKIP lebih memuat hal-hal operasional dalam masing-masing program sehingga hal ini akan berpotensi membelokkan fokus organisasi dari pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang telah ditentukan dalam rencana strategis (RENSTRA). Sedangkan indikator kinerja BSC bersifat lebih konsisten dengan perencanaan strategik yang telah dilakukan sebelumnya sehingga antara indikator kinerja yang direncanakan dengan yang diukur merupakan poin-poin yang sama.
5. Target kinerja yang ada dalam SAKIP organisasi atau lembaga pemrintah biasanya adalah target kinerja yang disesuaikan dengan anggaran kegiata yang disahkan oleh Legislatif. Hal ini menyebabkan pencapian visi, misi, tujuan, dan strategi organisasi pemerintahan secara keseluruhan menjadi sangat tergantung kepada pengesahan anggaran oleh DPR. Sedangkan Target kinerja dalam BSC merupakan akumulasi dari kondisi lembaga atau organisasi yang sebenarnya untuk pencapaian sasaran strategis dalam keempat perspektif BSC.

Kesimpulan dan Saran
Tuntutan untuk meningkatkan peran strategis sebagai instansi pemberi layanan publik dengan mekanisme dan sistem pelayanan yang prima mengharuskan adanya keseragaman antara hasil pengukuran kinerja dengan kondisi aktual kinerja kantor/lembaga atau organisasi pemerintah. Dengan turut memperhitungkan persepsi stakeholders dan pegawai serta Indikator Kinerja Kunci lainnya yang bersifat non teknis dan belum pernah menjadi Indikator Kinerja dalam SAKIP, membuat Lembaga pemerintah membutuhkan suatu metode pengukuran kinerja yang lebih komprehensif, koheren, berimbang dan terukur guna melengkapi SAKIP yang selama ini menjadi standar pengukuran kinerja instansi pemerintah. Sebagai sebuah metode pengukuran kinerja kerangka kerja BSC dirasakan relatif lebih komprehensif, koheren, berimbang dan terukur dibandingkan dengan pengukuran kinerja AKIP dalam SAKIP, oleh sebab itu BSC kemudian dirasakan diperlukan lembaga pemerintahan untuk diimplementasikan dalam pengukuran kinerja kantor sehingga penyusunan SAKIP selanjutnya digunakan dengan menggunakan pendekatan BSC.
Tabel pengukuran Kinerja berdasarkan kerangka BSC dapat dijadikan sebagai Laporan yang Berdiri sendiri untuk kepentingan pengambilan kebijakan dalam organisasi maupun untuk level yang lebih rendah seperti Program dan Kegiatan-Kegiatan tertentu ditingkatan Eselon yang ada, namun dalam hubungannya dengan pelaporan kinerja instansi maka Tabel Pengukuran Kinerja berdasarkan kerangka BSC ini kemudian bisa diintegrasikan kedalam Format-Format yang telah distandarisasi didalam LAKIP, sebagaimana dalam contoh gambar diatas.
Dengan menggunakan pendekatan BSC dalam melakukan pengukuran kinerja, sebuah organisasi akan secara otomatis membentuk dirinya sebagai organisasi yang berorientasi strategi, sehingga dalam penyusunan program, internal process sampai kepada tahapan eksekusi dan evaluasi hasil senantiasa memperhatikan hubungan sebab-akibat dalam peta strateginya (koheren).
Keempat perspektif yang ada didalam BSC yaitu : finansial, internal proses/bisnis, stakeholder/customer dan pendidikan, pembelajaran serta kapasitas organisasi membuat BSC sebagai sebuah sistem pengukuran kinerja memiliki keseimbangan dalam menentukan kinerja organisasi dengan melibatkan semua unsur didalamnya (Berimbang).
Mekanisme dan tahapan-tahapan penyusunannya, membuat BSC tidak saja hanya merupakan pengukur out put tetapi juga sebagai penyedia input dari strategi dan indikator indikator kinerja kunci apa yang akan di hasilkan, bagaimana mencapainya, bagaimana pengaruhnya bagi organisasi secara keseluruhan dan sebagai gambaran kinerja. (Komprehensif).
Semua KPI yang ada dimasing-masing Perspektif adalah gambaran visi yang diturunkan kedalam misi dan membuatnya bisa diukur dalam sebuah ukuran tertentu. Hal ini membuat organisasi berhasil membuat Visi dan Misi organisasi sebagai sebuah ‘mimpi’ atau ‘cita-cita’ menjadi ‘nyata’ karena kemampuannya untuk diukur (Terukur).







***ai140409***

1 komentar:

  1. selamat malam pak, tulisannya menarik.
    boleh minta izin untukk dijadikan bahan pembuatan proposal Laporan Studi Lapangan?
    kebetulan saya sedang studi lapangan dan materi yang saya angkat adalah tentang perbandingan LAKIP dan BSC.
    terimakasih :)

    BalasHapus